Sakralitas Masyrakat Menurut Emile Durkheim

Foto diambil dari historia.id

Penulis: Lailul Ilham*

Sebagaimana Sigmun Freud, sebagai pemikir yang memperjuangkan identitas sosial serta institusi sosial dan hal-hal lain yang terkait, Durkheim juga mengetengahkan teori revolusioner yaitu melihat agama melalui perspektif sosiologis, hal tersebut berbeda dengan kebanyakan teoritisi agama sebelumnya. Perspektif Durkeim yang khas meliputi ketetapan hatinya untuk melihat hampir semua usaha besar kehidupan manusia-hukum dan moralitas, kerja dan rekreasi, keluarga dan kepribadian, sains, seni dan terutama agama melalui dimensi sosialnya.

Sebagai pemikir yang memiliki pemahaman komprehensif terhadap individu kaitannya dengan sosial, Durkheim dengan ektrim menyatakan bahwa akan sia-sia orang yang mengkaji manusia hanya didasarkan pada aspek biologis, psikologis, kepentingan dan kebutuhan dirinya, karena menurut Durkheim untuk memahami manusia harus menjelaskan tidak dalam konteks personal melainkan harus menggunakan perspektif sosial, sehingga akan diperoleh pemahaman yang utuh. Dan setiap perubahan penting yang terjadi hanya dapat dikaji dengan pendekatan sosiologi supaya perubahan-perubahan tersebut dapat ditelaah dengan ilmiah dan diketahui faktor serta dampaknya terhadap kondisi sosial.

Kemudian Durkheim mendefinisikan masyarakat tidak sekedar sekumpulan orang tapi ditentukan oleh adanya “kontrak sosial” dan kontrak inilah yang menjadi identitas utama dari sebuah masyarakat. Secara sederhana, kontrak digambarkan sebagai persetujuan, kesepakatan dan kerjasama antara dua orang/pihak untuk sama-sama melakukan sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang lain berdasarkan kesepakatan. Pada zaman dahulu, perjanjian biasa dilakukan memakai sumpah atas nama agama, dan persepsi yang muncul adalah perjanjian tersebut tidak hanya perjanjian antara kedua pihak (individu/kelompok) melainkan juga disaksikan oleh para dewa.

Individu sebagai komponen terkecil dari sebuah masyarakat pasti dilahirkan pertama kali dalam kelompok, kelompok tersebut berbentuk keluarga, klan, suku, bangsa dan individu akan dibesarkan dalam ruang sosial tersebut. Sehingga membentuk bahasa, kebiasaan, kepercayaan, karakter dan respon emosional sebagaimana yang terjadi dalam kelompok atau lingkungan tempat individu dilahirkan.

Termasuk pula dalam konsep kepemilikan pribadi menurut Durkheim juga bagian dari perkembangan atau dapat dilihat sebagai perluasan diri-individu, karena pada mulanya yang ada hanyalah hak komunal dan hak individu perkembangan dari konsep kepemilikan setelahnya. Sebagai penguat, Durkheim menunjukkan sebuah fakta sejarah yang menunjukkan sistem kepemilikan pertamanya bersifat komunal (bukan kepemilikan individual), yaitu tanah suci yang oleh orang-orang awal tidak dianggap milik pendeta atau pihak lain, melainkan milik seluruh anggota masyarakat.

Durkheim percaya bahwa setiap masyarakat pasti dapat menentukan perilaku normal menurut dirinya beserta akibatnya dan menentukan perilaku abnormal (patologis) beserta dampaknya. Perilaku normal selalu ditentukan dari dalam suatu kelompok, seperti tindakan bunuh diri menjadi perilaku “normal” bagi masyarakat Jepang dan kasus poligami akan dilihat lebih normal bagi masyarakat primitif ketimbang masyarakat modern.

Kemudian berbeda dengan Taylor dan Frazer serta Freud, Durkheim mengklaim bahwa orang-orang primitif secara normal betul-betul tidak berpikir tentang dua dunia yang berbeda antara supernatural dan natural, seperti cara orang-orang beragama yang hidup dalam kebudayaan modern. Orang-orang modern dipengaruhi oleh asumsi dan kaidah-kaidah dasar sains, sedang orang-orang primitif tidak. Mereka melihat semua peristiwa dan kejadian luar biasa pada dasarnya sama.

Pada kasus kepercayaan dan ritual agama, Durkheim mengidentifikasi tidak kepada supernatural dan natural melainkan pada konsep sakral dan profan. Hal-hal yang sakral selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Hal-hal yang profan adalah sebaliknya; bersifat biasa, tak menarik, dan merupakan kebiasaan praktis kehidupan sehari-hari. Perhatian utama agama pada hal-hal yang supernatural. Dalam kata-kata Durkheim sendiri; “agama adalah sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral, yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang. Aspek yang sakral muncul berhubungan dengan urusan komunal dan yang profan berhubungan dengan urusan personal.

Berdasarkan teori-teori sebelumnya menurut Durkheim cenderung mengarah kepada hal-hal yang bersifat umum, semua mengklaim bahwa agama sekedar isnting alami bangsa manusia. Asumsinya bahwa dalam semua kebudayaan, orang-orang telah menemukan sistem kepercayaan sebagai respon terhadap kehidupan yang dialaminya. Durkheim menganggap dua pemikir (Tylor dan Muller) terlalu ambisius dengan beramsumsi bahwa masyarakat mengalami proses revolusi yang panjang, kemudian mereka coba melihat ke masa lalu untuk membayangkan ide dan emosi yang dimiliki oleh makhluk manusia paling awal.

Jika ingin sungguh-sungguh bersikap ilmiah terhadap agama, peneliti tidak bisa hanya berpatokan pada dugaan bagaimana orang berpikir di masa awal sejarah. Tapi peneliti harus coba mencari sebab-sebab yang selalu hadir, tempat bersandar agama, hal-hal yang terjadi di setiap zaman dan sesuatu yang mendorong manusia sehingga percaya dan bertingkah laku secara agama.

Kemudian Durkhiem menjelaskan tentang totem, yaitu simbol yang memiliki kekuatan tersembunyi dan disembah oleh klan. Pada waktu bersamaan Durkheim melakukan perubahan radikal dengan menganggap totem sebagai gamabaran klan yang kongkrit. Jika dikontekskan pada zaman sekarang, identitas totem seperti bendera klan, panji-panji atau logo. Singkatnya, totem merupakan simbol hubungan dewa dan klan, dan pemujaan pada dewa-dewa adalah cara suku-suku primitif mengungkapkan pemujaan mereka terhadap klan.

Masyarakat butuh komitmen individual dalam menjala kehidupan, itulah sebabnya mengapa prinsip totem harus selalu menembus dan mengorganisasikan dirinya ke dalam diri kita. Kemudian Durkehim berani menggambarkan perasaan kebahagiaan yang meluap-luap saat ritual upacara klan. Pendapat tersebut didasarkan pada ritual yang dipenuhi dengan energi, antusiasme, kegembiraan, komitmen yang menafikan diri sendiri dan hal lain yang membosankan. Sehingga mereka masuk dalam wilayah yang besar/umum dan mereka memasuki wilayah yang sakral.

Kemudian terkait implikasi totemisme, Durkehim mengemukakan bahwa pemujaan terhadap totem merupakan tindakan pemujaan pada masyarakat itu sendiri. Simbol totem biasa dimaterialisasi ke media batu dan kayu (dalam bentuk ukiran) dan itu merupakan objek kongkrit yang menuntut kesetiaan dari semua anggota klan. Simbol totem tidak hanya menuntut kesetiaan secara pikiran dan tindakan hidup, tapi juga membawa gagasan bahwa masyarakat (termasuk dirinya) merupakan suatu yang abadi.

Kemudian muncul lagi doktrin konsep kekekalan jiwa yang merupakan perkmenbangan dari totemisme. Orang-orang totem menganggap jiwa itu abadi hanyalah cara lain untuk mengatakan bahwa individu akan mati, dan klan yang akan terus hidup. Roh-roh leluhur tampak sebagai pecahan masa lalu yang masih hidup dan membersamai klan hingga sekarang. Sehingga jika kontak diantara suku-suku di wilayah tertentu bertambah kuat, kemudian mereka saling bertukar ide, kemudian mereka mulai menduga bahwa ada seorang leluhur khusus yang menjadi sesembahan mereka semua dan leluhur itu adalah dewa tinggi. Dewa tinggi tersebut sebagai perluasan lebih lanjut dari psinsip totemik awal.

Menurut Durkheim pemujaan (cult) terdiri dari atas peristiwa-peristiwa tertentu. Dimanapun ritual pemujaan terjadi dan bagaimanapun dilakukan, tindakan pemujaan adalah hal paling penting yang pernah dilakukan oleh anggota klan. Ritual-ritual itu sakral dan yang lain adalah profan. Tujuan ritual untuk mempromosikan kesadaran klan dan membuat orang merasa menjadi bagiannya.

Dalam pemujaan terbagi dalam dua bentuk; negatif dan postif. Ritual pemujaan negtif memiliki tugas utama: memelihara yang sakral agar terus terpisah dari yang priofan. Ritual itu berisikan larangan atau “taboo”, taboo melindungi beberapa tenpat suci. Ritual itu adalah sumber kepercayaan, yang biasanya lahir dari agama. Dukheim menyatakan bahwa kaum beragama cenderung merasa bangga terhadap oang-orang asketik dalam agamanya karena orang tersebut selalu dihormati. Penderitaan mereka yang eksesif, penolakan untuk menikmati seks, makanan yang baik, atau bentuk kemewahan yang lain, dimaksudkan sebagai teladan bagi setiap orang. Mereka menjadi teladan demi kebaikan klan, sebab tanpa korban maka klan tidak dapat makmur dan bertahan.

Kemudian, ritus piakular menurut Durkheim adalah ritus-ritus klan berupa penebusan dan perkabungan yang selalu dilakukan setelah kematian atau suatu peristiwa tragis. Tylor menduga bahwa orang-orang primitif melakukan ritual semacam itu untuk berdamai dengan roh-roh yang marah karena kehidupan mereka telah berakhir. Namun Durkehin memberikan alasan sosial berbeda, menurutnya di dalam sebuah kultur dimana para pelayat menangis keras dan memukul dirinya sendiri, tindakan tersebut bukan hanya ledakan yang spontan tapi merupakan isyarat formal, yang betul-betul dituntut oleh kebiasaan semua anggota klan, termasuk orang-orang yang tidak mengenal orang yang meninggal tersebut. Sebab, ketika seseorang meninggal, bukan hanya keluarga dekat yang melemah tapi seluruh klan kehilangan anggota atau bagian kekuatan dari kekuatannya.

*Lailul Ilham; Doses Prodi BKI Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Raudlatul Iman (STDAR) Sumenep. Tulisan diambil dari tulisan review tokoh sosiologi, 2019.

Bagikan ke :

Leave a Comment