Media, Bahasa, dan Kekuasaan;

 

Tinjauan Linguistik Fungsional Sistemik (LSF) M.A.K Halliday

Di era postmodern, peran media tidak hanya sebagai akses penyampai informasi, tetapi juga media punya peran penting dalam mempengaruhi cara berpikir dan cara pandang masyarakat terhadap suatu fenomena tertentu. Melalui bahasa sebagai media penyampainya, media massa melalui institusi medianya bisa memengaruhi cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan untuk menampilkan orang-orang yang berbicara dalam media. Semisal pada media cetak (koran) harus melewati beberapa tahapan sebelum dimuat dan dijadikan berita, dalam tiap-tiap tahapan ini ada banyak orang yang terlibat, yang sekaligus memegaruhi berita mana yang layak dimuat dan mana yang tidak layak dimuat (news value).

 

Salah satu aspek yang paling penting dan menarik untuk dikaji ialah potensi kekuasaan media apabila ditinjau dari sudut pandang linguistik, tentu saja hal ini berkaitan dengan cara media memberitan orang dan fenomena atau kejadian tertentu. Sejak awal 1970-an para ahli linguistik telah tertarik untuk meneliti hubungan antara bagaimana cara menceritakan sebuah kisah dan sudut pandang apa yang tampak dari cara bercerita itu. Para ahli lingusitik dalam hal ini menggunakan pendekatan wacana kebahasaan. Salah satu yang banyak diterapkan dan dipengaruhi oleh pemikiran M.A.K Halliday (1978) tentang teori sistematik linguistik atau critical linguistics. Critical Linguistics memusatkan analisis bahasa yang menghubungkan dengan ideologi. Dasar dari gagasan ini adalah melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata, maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seorang untuk diungkapkan dengan membawa makna ideologi tertentu.

 

Ideologi dalam taraf umum menunjukkan bagaimana suatu kelompok berusaha memenangkan dukungan publik dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarginalkan lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu. Bahasa adalah suatu sistem kategorisasi di mana kosa kata tertentu dapat dipilih yang akan menyebabkan makna tertentu. Pada taraf tersebut bahasa yang semuala rangkaian kata mengakibatkan timbulnya wacana-wacana tertentu yang dapat memengaruhi aspek kehidupan sosial. Taruhlah saja bagaimana struktur wacana dalam bahasa media dapat mengubah pola kehidupan dalam aspek perubahan sosisal. Seperti yang disampaikan oleh Fairlough (2003) bahwa wacana dipandang sebagai praktik sosial yaitu terdapat hubungan dialektis antara praktik diskursif dengan identitas dan relasai sosial. Memaknai wacana bahasa media yang demikian, dapat membantu menjelaskan bagaimana wacana bahasa media dapat memproduksi dan mereproduksi ststus quo dan mentransformasikannya.

 

Bagaimana dengan praktik kekuasaan? Van Dijk (1998) mendefinisikan kekuasan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya) suatu kelompok untuk mengontrol kelompok yang lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan atas kepemilikian atas sumber-sumber yang bernilai, taruhlah uang, status, dan pengetahuan.  Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik kekuasaan versi Van Dijk juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang yang secara tidak langsung mengontrol dengan jalan memengaruhi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.

 

Dalam pandangan Van Dijk analisis wacana bahasa media memberikan perhatian besar pada apa yang disebut dengan dominasi. Dominasi diproduksi oleh pemberian akses khusus pada suatu kelompok dibandingan dengan kelompok yang lain. Ia juga memberi perhatian pada proses produksi lewat legitimasi memlalui kontrol pikiran. Dalam banyak kasus kelompok elit/dominan memunyai akses yang lebih besar daripda kelompok yang tidak memiliki kuasa. Oleh sebab itu, mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk akses terhadap media, dan juga memunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran publik/khalayak.

 

Teori Linguistik Sistemik Fungsional untuk selanjutnya disingkat dengan LSF. Teori sistemik adalah teori sebuah makna sebagai pilihan, di mana sebuah bahasa atau sistem semiotik lain diartikan sebagai susunan pilihan antar jaringan (Halliday, 1990). Ada empat pandangan utama teori TLSF (Eggins, 2004:3). Keempat pandangan itu adalah: (a) bahasa itu fungsional (b) fungsi atau kegunaan menciptakan makna/fungsi yang bermakna (c) fungsi-fungsi/kegunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks budaya dan konteks sosial tempat fungsi itu dipertukarkan (d) proses penggunaan bahasa adalah proses semiotik, yaitu proses membuat makna melalui pemilihan.

 

Halliday memandang bahasa sebagai fenomena sosial dan realisasi semiotik sosial, bahasa merupakan teks yang saling menentukan dan merujuk kepada konteks sosial. Dalam LSF bahasa terdiri atas tiga strata yaitu arti (semantik), bentuk (leksikogramatika), dan ekspresi (fonologi). Semiotik sosial menganalisis bahasa, wacana dan teks merupakan aktivitas semiotik. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik konotatif dan semiotik denotatif. Sebagai suatu sistem konotatif bahasa mengambil sistem semiotik lain untuk menjadi alat ekspresinya yaitu register (konteks situasi), genre (konteks budaya), dan ideologi, sedangkan sistem semiotik denotatif bahasa mempunyai alat ekspresi tersendiri, yaitu fonologi.

 

Memahami sifat-sifat dan fungsi-fungsi bahasa berarti harus memahami kesamaan aspek-aspek yang dimiliki semua bahasa-bahasa (misalnya properti apa yang dipunyai bahasa sebagai bahasa), dan perbedaan-perbedaan yang dimiliki bahasa satu dengan lainnya, memahami kualitas teks, mengapa sebuah teks bermakna demikian, serta mengapa teks dinilai demikian, memahami bagaimana bahasa itu bervariasi, menurut pengguna, dan menurut fungsinya untuk apa ia digunakan, untuk memahami hubungan antara bahasa dan budaya, dan bahasa dan situasi untuk menciptakan sistem-sistem, untuk menghasilkan dan memahami ujaran, dan memindahkan antara teks tulisan dan lisan) dengan demikian LSF itu merupakan teori yang membahas mengenai bahasa yang merupakan sistem semiotik sosial dimana makna dianalisis secara fungsional. Artinya bahwa seseorang menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan dengan mengekspresikan makna sesuai konteks dengan menggunakan analisis fungsional.

 

Misalnya makna interpersonal adalah sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai suatu saling tukar-menukar informasi yang disebut ‘bahasa sebagai kegiatan’ (Sinar, 2008). Makna interpersonal terdiri atas dua yaitu yang pertama menyangkut jenis interaksi yang terjadi dan jenis barang yang dipertukarkan, yang kedua menyangkut posisi pesan yang diucapkan oleh penutur. Dalam pandangan Halliday ketika dua orang menggunakan bahasa untuk berinteraksi, satu hal yang mereka perbuat adalah melakukan suatu hubungan antara mereka. Dalam hal ini, penutur bahasa atau fungsi pertuturan menciptakan dua tipe peran atau fungsi pertuturan. Tipe peran atau fungsi pertuturan yang paling fundamental hanya terdiri atas dua yaitu memberi dan meminta, baik seorang pembicara memberikan sesuatu kepada pendengar atau seorang pendengar menuntut sesuatu dari pembicara.

 

Pada suatu pertuturan terjadi interaksi, dalam interaksi terjadi pertukaran informasi, yakni ada sesuatu yang diberikan dan ada sesuatu yang diterima. Yang dipertukarkan dalam pertuturan berupa komoditas, komoditas tersebut terdiri atas dua jenis yang prinsipil yaitu (1) barang dan jasa dan (2) informasi. Kedua jenis komoditas ini mendefinisikan empat fungsi utama pertuturan yaitu penawaran, perintah, pernyataan, dan pertanyaan. Memberi dan meminta informasi adalah makna pada tingkat semantik yang paling sering berada pada tingkat lexikogramatika dengan mengajukan pertanyaan atau membuat pernyataan. Berbeda dengan pertukaran informasi, pada pertukaran barang dan jasa melibatkan penggunaan bahasa untuk mendapatkan sesuatu, baik dengan menawarkan untuk melakukannya sendiri atau memesan orang lain untuk melakukannya. Meminta barang dan jasa adalah makna pada tingkat semantik yang paling sering berada pada tingkat lexikogramatika dengan memberikan perintah atau instruksi.

Jadi dapat dikatakan bahwa kosakata, atau wacana yang digunakan oleh penutur bahasa atau penyampai informasi dapat berupa klasifikasi, membatasi pandangan, dan marginalisasi. Oleh sebab itu, terjadi lah pertarugan wacana yang bersifat oposisi biner, wacana yang satu selalu melemahkan atas wacana yang lain.

 

Ainur Rahman

Dosen STIDAR

 

Bagikan ke :