Raudlatul Iman dan Atmosfer Berkesenian

 

 

Oleh : Muhammad Sahli

 

Pondok pesantren sejak kelahirannya dibidani oleh da’i-da’i yang didasari rahmat untuk semuanya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan beradab. Melalui kepekaan hati mereka, Islam bisa diterima dengan penuh kesadaran, kedamaian tanpa keterpaksaan sedikitpun. Kelembutan hatinya mampu memberikan pengaruh besar terhadap kebenaran universal agama. Bahwa agama tidak dimaknai dari satu sisi saja, melainkan perspektif yang luas untuk mengkomunikasikan nilai-nilai yang bisa diterima oleh masyarakat oleh yang paling awam sekalipun.

 

Islam yang turun di Arab, bukan tanpa alasan. Jika ditelisik, masyarakat Arab jahiliah menyukai syair-syair indah dalam kehidupan kesehariannya. Untuk itu Al-Qur’an yang di dalamnya mengandung unsur estetika, baik dari susunan maupun isinya memberikan sinyal positif bagi masyarakat jahiliyah untuk membuka ruang kesadaran kemukjizatan Al-Qur’an yang mempunyai cita rasa sastra tinggi.

 

Dalam sejarah peradaban Islam, banyak kita kenal para sufi yang juga menyampaikan dakwahnya melalui media seni (sastra). Sekedar contoh nama mereka cukup populer dalam khazanah keislaman seperti Maulana Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Siti Rabiah Adawiyah, Ibrahim bin Adham, Fariduddin Attar dll. Bahkan Imam Al-Ghazali yang terkenal sebagai tokoh spiritual juga banyak menulis dan mengutip syair dalam karya-karyanya. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai spesialis fiqih, juga selalu menyitir banyak syair dalam tulisan-tulisannya. Hampir pasti di setiap karya ulama, baik bidang fiqih, akhlaq, aqidah dll tak pernah lepas dari syair sebagai bagian dari referensinya.

 

Di Indonesia kita mengenal banyak nama yang muncul dari kalangan ulama atau pesantren dengan spesialis dakwahnya melalui karya seni seperti Hamzah Fansuri, KH. Mustofa Bisri, Acep Zam-Zam Noer, Abd Hadi WM, D. Zawawi Imron dll. Awal penyebaran Islam, yang dibawa wali songo tak luput dari atmosfer kesenian. Sunan Bonang, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang terkenal dalam penyebaran Islam menggunakan media seni. Jika kemudian di organisasi Nahdlatul Ulama terdapat satu lembaga LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia), ini sebagai bukti bahwa instrumen dakwah bernama seni diakui keberadaannya dan vital dalam mengkomunikasikan pesan-pesan keagamaan.

 

Untuk konteks Raudlatul Iman pada awal perkembangannya, masyayikh mengawali interaksi dengan masyarakat dengan menggunakan pendekatan kesenian. KH. Abd Hamid adalah salahsatu ketua gambus dan samman (organisasi shalawatan yang diiringi tarian). Penulis masih ingat dulu, ada satu gitar gambus yang sudah rusak buatan K. Fathorrahman saudara kandung K. Hamid. Sedangkan K. Abd Aziz menggunakan media musik hadrah untuk bisa berdakwah dan bergaul dengan masyarakat.

 

Khusus di bagian muslimat, Ny. Suryati dulu membidani kelahiran musik samroh (qosidah) dengan alat seadanya seraya memanfaatkan santri sebagai musisi dan vokalisnya. Salahsatu upaya Ny. Suryati dulu agar santri betah, sebelum tidur diadakan pembacaan syair Jugan Mahligan dan Murtasiyah yang isinya mengandung pesan dakwah.

 

Kemudian di tahun 1980-an, generasi setelah K. Hamid tetap menggunakan seni sebagai salahsatu media untuk mendekatkan emosi satu sama lain. Setiap imtihan, even lomba baca puisi selalu menjadi pavorit dan ruh kesenian menghidupkan berbagai acara atau kegiatan. Maka pada periode selanjutnya kemudian berdiri dan berkembang gairah seni seperti Komunitas Musafir, Musafir Band, Gambus El-Musafirin dan Keramat Banjari sampai saat ini.

 

Dengan demikian, seni sebagai salahsatu fitrah kemanusiaan tidak bisa dipinggirkan begitu saja, tetapi bagaimana memberikan warna dan spirit agama dalam iklim berkesenian. Toh mereka yang mengkritik habis-habisan, sesungguhnya secara tidak disadari teramat suka dengan seni. Tapi mereka enggan dan malu-malu untuk menampakkannya. Entah karena terlanjur menghakimi atau karena menunggu Malaikat Israfil untuk meniup terompetnya. Wallahu A’lam.

 

Pesanggrahan Musafir, 03 Juli 2022

Bagikan ke :