Sabda Agung Sang Leluhur : Puisi Dalam Rangka Haul Akbar ke-1

SABDA AGUNG SANG LELUHUR

 

Foto makam Kiai Abdurrahman (Bujuk Agung) Toronan

 

Kiai Agung yang memiliki cinta agung untuk Tuhannya, keluarga, masyarakat dan bangsanya
Yang menghabiskan malam-malamnya dengan munajat bersimbah airmata
Yang membelai santri-santrinya dengan semerbak doa
Yang tak tega menyaksikan tetangga dan masyarakatnya dirundung nestapa
Yang tak rela bangsanya dicabik-cabik kehormatannya
Yang menebang pohon-pohon ketidakadilan
Diganti dengan batang-batang keceriaan yang menjulang
Seorang yang tawadhu’ seperti pohon padi yang merunduk

 

Siapa engkau sesungguhnya
Sampai harumnya mawar tak mampu mekar tergelar
Merah daging semangka pucat terkapar
Burung-burung di angkasa tersihir jatuh terdampar
Daun ilalang yang liar tak kuasa menjalar
Semua khusyuk di hadapan tajam tatap lembutmu

 

Menyelami dalamnya lautan pengembaraan ilmumu
Aku seperti setitik air yang jatuh dari langit kemudian dihempas angin
Sebelum memeluk deras arus gelombang pasang
Betapa lautmu teramat teduh
Menyimpan debur fatwa yang riuh
Semua terperangkap dalam kemilau sauh ketulusanmu

 

Mendaki bukit pribadimu yang tinggi
Nafasku terengah dalam desah
Wajah tertengadah tak mampu menjelajah
Mengitari lereng-lereng yang penuhi aneka bunga-bunga
Kakiku melepuh tersandung kerikil-kerikil nafsu
Keringat mengalir membasahi jejak-jejak yang engkau tinggalkan
Seperti ajaran mulya Sunan Cendana Bangkalan sang panutan

 

Melintasi cakrawala agung sabdamu
Bibirku bisu tersumpal keranda awan kematian
Bintang-bintang turut merasakan getar kerinduan
Arah yang kutempuh tiba-tiba buram
Dengan segera engkau memeluk anak cucumu dengan hangatnya kemesraan

 

Menyusuri jalan yang berliku
Tak sedikitpun engkau merasakan linu
Hingga daun-daun tertunduk malu
Menjabat erat sabda agungmu
Yang nyaris tergilas cemburu
Engkau teramat tulus menikmati malam bersama sang isteri yang setia
Hingga tanah yang terpijak tak mampu dibajak
Walau dinding di sekitarmu mulai retak

 

Bagaimana merengkuh petuah-petuahmu
Sementara aku berlumur karat berlapis-lapis bercak noda
Merobek luka dada angkara
Tersungkur dalam raut wajah berparas baja
Tak sedikitpun engkau menyerah
Sampai sang raja mengelus dada lantaran hujan belum juga tiba

 

Derap langkah perjuanganmu terlampau jelas mengukir semesta
Yang kusaksikan lewat senyum anak cucumu
Mewarnai setiap sudut langit biru dan hijaunya padang rerumputan
Perih bukan alasan untuk kembali di perjalanan
Karena istiqomahmu mengabdi pada sang guru
Tak bisa terhalang oleh detik waktu

 

Kiai Agung yang memanggungkan kebenaran sekalipun godaan antri dalam barisan
Agar sabdanya tertelan gelap malam
Kiai Agung yang membawa obor di tengah gelapnya kebodohan
Walau zaman berusaha memadamkannya
Kiai panggung yang mengagungkan serpih-serpih permata yang dicampakkan orang ke dalam comberan kemunafikan
Kemudian memungutnya agar Pamekasan dan Madura tidak banjir luka dendam

 

Kiai Agung yang menahan derita saat orang-orang tak mengerti cahaya
Kiai Agung yang mencoba tersenyum melayani masyarakat yang teraniaya
Oleh dirinya sendiri yang memuja berhala
Kiai Agung yang memiliki kijang putih hadiah sang mertua
Lebih gesit dari kijang
Lebih wangi dari melati
Agar negeri tak disesaki gumpalan benci
Meski sabda agungnya disampahkan
Ia tetap tegar menggendong amanat dengan erat
Sampai sumur-sumur dan sungai yang mengering kembali mengalirkan mata air
Dan padang kerontang berubah gemburnya ladang

 

Duhai leluhurku
Di sini aku duduk di pusaramu
Detak jantung memompa gairah yang basah
Berharap engkau meraih tanganku
Mengajakku bermain-main di asri tamanmu
Yang telah aku lumuti dengan bau keringat
Dan engkau menunggu tanpa ada rasa penat
Sebab engkau yakin bahwa kami akan pulang ke pangkuanmu yang bergelimang kerinduan
Walau dengan langkah kaki tersendat

 

Semoga kami dapat menerjemahkan dan mengamalkan dawuh sabda agungmu
Mengikuti jejak istiqomahmu
Di saat dunia dipenuhi amis dan becek kebancian
Bukan sekedar bangga dan menjual karomah namamu
Yang tersimpan dalam file catatan harian

 

Muhammad Sahli Hamid
Congkop Toronan, 30 April 2021

Bagikan ke :