Pesantren Dalam Mencetak Santri Sebagai Pelopor Humanisasi

Penulis : ROMADHANI

Kaum sarungan dan berpeci, ini yang biasanya selalu diidentikkan kepada seorang yang bernama santri. Mereka yang hidup di bawah satu atap yang sama dan dalam naungan instansi bernama Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan non formal tertua di Indonesia. Pesantren ini sudah ada sebelum negara ini merdeka.

Dalam suatu pesantren entah di manapun tempat ataupun lokasinya pasti yang paling esensial yang diterapkan oleh pengelola atau pengurus adalah pembelajaran ilmu agama bagi anak didiknya atau yang disebut santri. Nilai-nilai spiritual menjadi prioritas yang diinternalisasikan kepada kaum santri dalam pesantren. Karena tak dapat dipungkiri alasan yang paling substansial dan tujuan santri mondok di pesantren adalah untuk memperdalam ilmu agamanya, begitu pula ungkapan para orang tua yang memasukkan anaknya dalam pesantren.

Dalam pesantren pasti banyak kegiatan-kegiatan yang berbau Ubudiyah seperti solat berjama’ah, istighosah, solat maktubah, solat Sunnah, dan kajian-kajian kitab salaf. Kegiatan yang seperti ini dilakukan secara konsisten dan masif dalam sebuah pesantren sebagai upaya agar pembiasaan yang seperti ini nanti bisa juga diamalkan oleh para santri secara konsisten atau Istiqomah, bukan hanya saat di dalam pesantren saja namun juga saat santri keluar berbaur dalam masyarakat atau istilahnya ketika santri sudah pulang ke rumahnya masing-masing.

Pendidikan dalam pesantren sampai sekarang ini sudah diuji dan dipercayai oleh masyarakat Islam bahwa lembaga yang didirikan oleh seorang tokoh yang disebut kyai ini adalah lembaga pendikan yang paling efektif dan ampuh dalam mengajarkan ilmu agama. terbukti banyak orang lulusan pesantren yang mahir dalam ilmu agama dan banyak pula orang lulusan pesantren yang juga dberikan kepercayaan oleh masyarakat dalam suatu daerah untuk mendirikan pesantren juga agar ia bisa menularkan ilmu agamanya kepada orang-orang yang ada di daerah tersebut.

Program kegiatan yang ada dalam pesantren selain memupuk dan mengasah spiritual santri, mereka diajarkan pula bagaimana bersikap kepada sosialnya atau orang-orang yang ada di sekelilingnya seperti guru, teman yang umurnya lebih tua ataupun yang lebih muda serta kepada teman yang sebaya. Istilah yang digunakan adalah mengasah Sholeh sosial santri agar nanti bukan hanya pandai atau mahir dalam bersikap secara vertikal (Hablum Minallah), tapi juga secara horizontal (Hamblum minan nas wa hablum minal ‘alam) atau kepada sesamanya mereka juga bisa.

Sholeh sosial adalah perlakuan baik seseorang terhadap orang lain dalam bentuk apapun atau bisa disebut juga dengan Humanis. Humanis adalah orang-orang yang mempunyai pergaulan baik dengan orang lain yang berasaskan perikemanusiaan.

Kegiatan sholeh sosial atau humanisme ini selalu dipraktekkan oleh santri dalam pesantren, karena hal tersebut adalah tuntutan dan tekanan pesantren kepada santrinya agar para santri mempunyai kebiasaan yang baik, seperti santri diajarkan untuk beretika kepada seorang guru atau dalam pesantren distilahkan dengan kyai atau ustad, alasannya karena mereka adalah orang-orang yang berjasa, yang telah mengajarkan bebagai macam ilmu kepada anak didiknya (santri). tanpa adanya seorang ustad, santri akan melek pengetahuan dan tidak mungkin akan menjadi orang pintar. Maka orang-orang seperti guru, ustad, kyai, atau nyai dalam pondok pesantren wajib hukumnya dihormati dan dita’ati.

Etika seorang santri kepada kyai sangat dijaga betul, misalkan saat kyai membutuhkan pertolongan santri untuk meringankan pekerjaanya, maka santri ini langsung bergegas melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh si kyai tersebut karena mengingat betapa berjasanya seorang kyai bagi dirinya. Ini adalah praktek Humanisme versi santri yaitu mementingkan etika dan adabnya kepada seorang guru.

Bahkan dalam pesantren ada program kajian kitab kuning yang berisi Adab dan etika seorang pelajar terhadap gurunya, seperti kitab Ta’limul Muta’allim dan lain-lain. ini adalah sebagai usaha agar santri bisa bersikap humanis yang semestinya kepada seorang guru. Dalam pesantren terdapat pepatah yang mengatakan bahwa kesopanan lebih tinggi nilainya dari pada kecerdasan. Ini mengindikasikan bahwa pesantren sudah mengajarkan nilai-nilai humanisme kepada santrinya.

Dalam pesantren bukan hanya itu saja, seorang yang lebih muda memanggil dengan sebutan kakak atau mbak kepada yang lebih tua, begitu pula yang lebih tua menyebut adik kepada yang lebih muda. ini sudah menjadi keniscayaan bagi seorang santri dalam pesantren. Dan ini adalah sebagai upaya agar santri yang lebih muda menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua menyayangi pada yang lebih muda. begitulah bukti sampel sikap para santri dan pengurus pondok pesantren. Ini semua merupakan bagian program dalam pesantren, di mana seorang santri dituntut agar mempunyai sikap humanis atau Sholeh sosial kepada orang lain.

Dalam pesantren yang basisnya Nahdlatul Ulama (NU), para santri diajarkan pula spirit nilai-nilai Humanisme yang terkandung dalam 6 konsep Aswaja Annahdliyah. salah satunya adalah Tasamuh atau toleransi yang dimanifestasikan dengan cara menghargai orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Di Indonesia ada berbagai macam suku, budaya, ideologi politik, dan agama. karena negara ini adalah negara plural, maka konsep Tasamuh harus terefleksikan dengan baik agar tidak ada pertikaian dan pertengkaran gara-gara adanya perbedaan. Banyak konteks sosial yang tejadi di sekitar kita, yang di dalamnya berisi pertengkaran karena perbedaan. sebenarnya perbedaan itu tidak boleh menjadikan perpecahan karena sebenarnya Allah SWT memang sengaja menciptakan manusia itu berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Hal yang demikian itu memang selalu diajarkan oleh para kyai ataupun ustad yang ada dalam pesantren agar sikap Tasamuh senantiasa tertanam dalam diri santri.

Out put pesantren yang pada saat menjadi santri di pondok pesantren berhasil menginternalisasikan nilai-nilai tasamuh tersebut mayoritas bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial saat mereka sudah terjun dalam masyarakat bahkan, lulusan pesantren banyak yang menjadi pionir Tasamuh dalam masyarakat. Yang menjadi prestasi pesantren adalah santri lulusannya juga mampu menginternalisasikan spirit humanisme tersebut kepada masyarakatnya.

Spirit Humanisme kedua yang terkandung dalam konsep Aswaja Annahdliyah yang diajarkan pesantren kepada santrinya adalah Ta’awun yang artinya gotong royong atau bersama. Nilai tersebut bukan hanya dipaparkan kyai atau ustad dalam kajian-kajian yang ada di pondok pesantren, tapi juga diimplementasikan oleh penduduk pesantren, seperti dalam keseharian santri.

Ketika waktu makan santri, mereka biasanya akan bergerobol makan bersama, yang memiliki makanan dan yang tidak juga akan sama-sama makan, jadi tidak ada satu orang yang kelaparan. kebiasaan ini sangat berarti dan bermanfaat bagi mereka agar terbiasa memperhatikan sesamanya. Selain itu saat kegiatan kebersihan, para santri akan melakukan secara bersama-sama, ada yang mencabut rumput, ada yang mencangkul rumput, ada yang membersihkan sampah. mereka membagi tugasnya secara rata dan melakukannya bersama-sama dan bergotong royong, “berat sama-sama dipikul dan ringan sama-sama dijinjing” seperti itu yang sering dilontarkan oleh santri.

Amar ma’ruf dan Nahi Mungkar adalah konsep Aswaja ketiga yang juga mengandung nilai Humanisme. Menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan sering dilaksanakan dalam pesantren, seperti yang dilakukan oleh santri senior kepada juniornya. Santri yang lebih senior secara kuantitas keilmuan mayoritas lebih unggul dari pada santri juniornya. Karena itu tak jarang santri senior menegur para santri yang melakukan kesalahan, baik kesalahan yang bersifat agama ataupun kesalahan seperti melanggar regulasi pondok, dan tak lupa mereka juga dibimbing dan diarahkan kepada hal yang baik.

Santri senior yang merupakan pengurus pondok pesantren sering memberikan punishment atau sanksi kepada para santri yang melanggar aturan pondok pesantren, ini merupakan bentuk perhatian kepada mereka karena dampaknya adalah tidak baik. Seperti santri yang tidak solat akan dihukum, karena jika hal tersebut dibiarkan maka akan menjadi kebiasaan, dan akhirnya nanti akan masuk neraka. Ini adalah praktek Humanisme di pesantren: bentuk kepedulian seseorang kepada orang lain.

Kegiatan saling mengingatkan yang telah dilakukan di pondok diharapkan juga bisa diaktualisasikan saat ia terjun ke masayarakat nantinya, sehingga ketika nanti ada masyarakat yang melakukan keburukan, maka ia akan mampu menegurnya juga.

Maka pesantren dalam hal ini sangat berperan aktif dan masif dalam mencetak santri menjadi pionir humanisasi , sebab spirit humanisme memang sudah diajarkan dan diasah dalam pesantren dan terbukti keefektifannya. Semoga akan dimanifestasikannya nanti saat terjun di masayarakat.

*Romadhani : Mahasiswa semester V program studi Pengembangan Masyarakat Islam Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Raudlatul Iman (STIDAR Sumenep)

Bagikan ke :