PERADABAN KAUM PINGGIRAN : Catatan Tantangan Perjuangan

Esai lepas, oleh Muhammad Sahli

Kaum pinggiran selalu diidentikkan dengan orang-orang yang kumuh, tertinggal, kolot dan pedalaman. Stempel tersebut dicapkan tentu karena keterbelakangan pendidikan, ekonomi, budaya dan lain-lain. Umumnya yang disebut kaum pinggiran adalah mereka masyarakat awam yang berada di pedesaan, kampung-kampung pedalaman yang jauh dari jangkauan kemajuan bahkan selalu terpinggirkan atau sengaja dipinggirkan oleh orang-orang yang merasa dirinya mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Sehingga mereka diidentikkan dengan keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Pemiskinan dan pembodohan menjadi instrumen yang mereka terima apa adanya, pasrah pada kenyataan dan keniscayaan hidup. Mereka tak kuasa melawan, apalagi memperjuangkan nasib mereka yang selalu terpojokkan.

Menilik fakta kaum pinggiran yang selama ini “terkungkung” oleh kejumudan, sepertinya sudah mulai terkikis, karena mereka sudah mulai menggeliat dengan menjamurnya lembaga pendidikan di kampung-kampung, mulai tingkat dasar bahkan sampai perguruan tinggi yang tentunya dapat membuka wawasan dan kesadaran mereka untuk ikut memperjuangkan nasib mereka sendiri dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat untuk lebih bermartabat dan berdaulat secara ilmu, ekonomi, budaya, politik dll. Cuma perlu digarisbawahi, bahwa mereka yang terlanjur nyaman dengan posisinya akan terus berupaya dengan berbagai cara agar mereka yang hendak maju harus dan mesti dibatasi. Maka kemudian proses selanjutnya, mereka bukan saja tertinggal secara kultur, tetapi juga dimatikan secara struktur. Kemajuan yang ingin direngkuh harus berhadapan dengan “keegoan” sistemik, sehingga mereka boleh berkembang, tapi dengan pengawasan.

Orang-orang pinggiran yang sudah mulai terbuka itu, akhirnya harus ikut dengan sistem yang mereka mainkan. Celakanya lagi ditambah dengan “kebrutalan” media sosial yang sepertinya menjadi kiblat baru untuk dijadikan imam dalam menghancurkan mereka yang dianggap lawan. Praktis keaslian dan kebersahajaan kaum pinggiran sudah mulai terjangkiti “virus” yang sengaja mereka sebarkan. Kontaminasi budaya menjadi semakin tak berbentuk, karena terinfeksi “wabah” kronis yang mematikan. Alhasil mereka juga ikut melegalkan bahkan ikut memberikan lahan bagi tumbuh suburnya “kesadisan” tradisi mereka yang dianggap maju dan modern.

Sedikit menoleh pada kearifan lokal masyarakat pinggiran yang setia dengan waritsan pendahulunya, yakni kesederhanaan, kepolosan, penghargaan, kekerabatan, kekompakan, kesetiaan, keceriaan, kesungguhan, keguyuban, kegupuhan, rasa persaudaraan yang dibingkai agama dan nilai-nilai bersama, keluwesan, kerendah-hatian, ketenangan, memberikan kemudahan dan lain sebagainya. Kini nilai-nilai tersebut mulai tertimbun atau sengaja ditimbun dalam gundukan “kecongkakan” akademik yang tak terbendung dan seakan menjadi mercusuar yang turut “menggelapkan” peradaban kaum pinggiran.

Oleh karena itu, sudah saatnya orang-orang yang berpendidikan (berperadaban), mengembalikan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai yang saat ini mulai terasing di kampungnya sendiri. Memang tidak mudah memperjuangkan sebuah kebaikan, lebih-lebih harus menurunkan dan mengorbankan ego yang memang ditanam sejak awal untuk manusia. Bukankah menyeberangi lautan harus melawan ombak besar untuk bisa sampai di daratan? Bahkan untuk mendapatkan mutiara harus menyelam dengan segenap jiwa raga. Tetapi dengan kesungguhan dan kesadaran kolektif, kenyataan itu akan mampu diraih dengan segala dinamikanya. Andai tidak ada batu besar yang kuat dan tetap di tempatnya, sudah lama gunung-gunung yang kelihatan indah itu keropos digerus usia.

Poros Peradaban, 17 Pebruari 2023

Bagikan ke :