Oleh : Muhammad Sahli Hamid
Ramadhan baru saja meninggalkan kita semua dengan segala keindahan dan romantikanya dan sudah barang tentu meninggalkan banyak kenangan yang terus terbayang. Bagi insan beriman, berpisah dengan Ramadhan adalah suatu siksaan dan penderitaan yang menyisakan banyak tumpukan kepahitan dan penderitaan. Setelah itu kita senantiasa berupaya sekuat tenaga menghadirkan dan menghidupkan kembali Ramadhan dalam denyut jantung dan urat nadi di dunia fana ini, agar terus terpancar cahaya keberkahan plus kehadiran Lailatul Qadar di sepanjang masa berupa nafas waktu yang berkualitas untuk Sang Maha Pencipta.
Kita juga telah merayakan Idul Fitri sebagai pertanda kemenangan mengendalikan hawa nafsu untuk tetap terhubung dengan pencipta-Nya agar tidak terjerumus dalam kehinaan dan kesengsaraan. Diliputi cahaya terang benderang sehingga tidak mudah tergoda dan goyah oleh segala bentuk dan macam tantangan. Sebab terputus dengan rahmat-Nya merupakan sebuah kegelapan yang tak berkesudahan. Akibat yang ditimbulkan akan menumbuhkan pribadi yang malas, keras, tidak peduli sesama dan lingkungannya.
Idul Fitri, berarti kembali pada hakikat kehambaan kita sebagai manusia yang suci tanpa noda pada saat awal kejadiannya (bayi), tetapi kemudian pengaruh lingkungan membuat manusia berubah dan terpengaruh untuk melakukan kesalahan dan jauh dari cahaya ketuhanan. Sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Allah SWT kemudian menyediakan sarana penyucian diri untuk memiliki sumber kejernihan hati dalam mengarungi kehidupan yang penuh cobaan. Sarana penyucian tersebut bernama Ramadhan, karena Allah SWT sangat memahami kondisi hambanya, bahwa sesuai kodratnya, bahwa ia pasti berbuat salah.
Ramadhan telah mendidik kita untuk menjadi pribadi yang sabar, tahan, ulet dan mampu beradaptasi dengan segala cuaca. Sehingga manusia tak mudah putus asa dan menyerah dalam menghadapi dinamika dan problematika kehidupan ini. Di dalam Ramadhan kita dilatih menahan makan dan minum yang menjadi kecenderungan manusia yang paling mendasar. Ramadhan juga membimbing manusia agar bisa hidup bersama dengan buka puasa, tadarus, tarawih. Di lain pihak Ramadhan tentu mengajari kita tepat waktu bangun malam, makan sahur dan peduli sesama. Tidak itu saja, Ramadhan membuka pikiran kita, bahwa menahan (imsak) pandangan, pendengaran, lisan perlu diupayakan agar terhindar dari hal-hal yang dapat menjauhkan kita dari pelukan keburukan yang ditimbulkan.
Maka setelah Ramadhan, nilai-nilai yang telah diajarkan itu, sejatinya tetap terbangun kokoh dan tertanam kuat di dalam jiwa, menjadi kebiasaan dan karakter yang tak mudah hilang di sepanjang tahun yang akan dilewati, bahkan senantiasa tumbuh dan berkembang memberikan pengaruh serta mewarnai dalam aktivitasnya. Jika setelah Ramadhan kembali pada kebiasaan yang sia-sia, maka sekolah Ramadhan dianggap gagal. Kegagalan itu bisa ditimbulkan atau diakibatkan karena sekolah yang tidak benar. Pastinya, orang yang gagal akan terus menghuni ruang dan goa sempit bermandi kegelapan. Ia selamanya akan tertusuk duri bernama kedengkian dan kesombongan.
Ibarat sebuah sekolah, maka Ramadhan adalah tempat belajar, gurunya adalah kesabaran, temannya adalah kedisiplinan, materi pelajarannya berupa kebersamaan, kesetiaan, mengurangi keinginan, perjuangan, dan menguatkan niat. Dalam kelas Ramadhan, muridnya wajib masuk aktif, mengikuti petunjuk guru, semangat tiada henti. Bila hal itu tidak bisa dipenuhi, mustahil sekolah Ramadhan mampu menghasilkan lulusan yang baik. Sebaliknya, apabila murid mampu mengikuti semua ketentuan, ia akan mendapat prestasi yang membanggakan atau keberhasilan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk itulah, kefitrian bukan saja diucapkan yang jauh dari kenyataan, tetapi semestinya adalah wujud dari sebuah proses yang benar. Orang yang kembali suci (idul fitri) dapat dilihat dari sifat, cara berpikir, tindak tanduknya, ucapannya yang mencerminkan hati yang bersih. Hati yang bersih akan mampu memberikan kesegaran bagi siapa saja yang ingin menikmatinya. Seperti sumber jernih, maka mengalirkan mata air yang bersih pula. Dengan demikian, merawat kefitrian pasca sekolah Ramadhan akan tercermin pada kepribadian seseorang yang mampu melihat dengan mata kasih sayang, peduli lingkungan, mampu memaafkan dan meminjam sifat-sifat-Nya, menghargai sesama, menghadirkan pesona keindahan-Nya dalam rimbun belukar rimba semesta ini.
Hari ketiga Idul Fitri, Syawal 1444 Hijriyah – Senin, 24 April 2023