By Muhammad Sahli
Orang-orang berperadaban selalu memiliki kelebihan dan keunggulan di atas rata-rata orang kebanyakan. Yang dimaksud kelebihan di sini, bukan karena kelebihan fisik, kekuatan tenaga, kekayaan ataupun jabatan. Tetapi lebih kepada kemampuan dirinya dalam mendudukkan persoalan secara proporsional. Mereka hadir sebagai pencerah, sekalipun apa yang dilakukan kurang mendapat perhatian.
Jika diamati perilaku orang kebanyakan adalah melakukan karena tuntutan rutinitas atau bertindak atas balas budi dan atas dasar kepentingan. Misalnya, mereka mengerjakan shalat karena perintah dan pelanggarnya takut pada ancaman, sehingga tugas itu menjadi sebuah beban. Atau mereka memberikan sesuatu, karena orang lain juga berbuat demikian. Termasuk berpartisipasi dalam suatu hal, karena ada kepentingan (udang di balik batu) yang terselubung atau terang-terangan.
Orang beradab identik dengan kesungguhan dalam berjuang, bukan karena ingin mendapat penghargaan ataupun pujian dari siapapun. Karena ia sadar apa yang dilakukan merupakan panggilan hati, sehingga transaksinya hanya dia dengan Tuhan. Ia melihat sesuatu dengan pandangan substansi, bahwa tidak ada satupun yang tidak berarti di dunia ini, sekalipun menurut kelaziman bertentangan dengan ketentuan. Satu hal sebagai contoh, orang yang mengkhianati, ia hadapi dengan balasan kasih sayang dan ketenangan. Karena tak ada sebuah masalah yang terjadi di luar kehendak Allah SWT, pasti ada hikmah di balik semua peristiwa.
Dengan kelebihan yang dimiliki, orang beradab menjelma pembaharu dalam lingkungannya. Ia memiliki visi dan keyakinan kuat untuk sebuah perjuangan dengan mewakafkan waktunya untuk kemajuan masyarakatnya. Ia tidak rela gelapnya peradaban tertutup awan kebodohan. Maka ia senantiasa digelisahkan oleh sebuah kenyataan yang berlawanan dengan harapannya. Pengorbanan menjadi harmoni indah untuk terus berkarya membangkitkan kesadaran, menyadarkan kejumudan, memupuk gairah yang layu dan memberdayakan yang lemah.
Fakta di masyarakat, masih lebih banyak yang masa bodoh daripada yang peduli, lebih semangat urusan pribadi dibandingkan kepentingan umum, terlalu banyak yang beralasan ketimbang yang memiliki tekad dan keyakinan. Sehingga dari fakta ini, menggelitik para mujahid peradaban untuk mengetuk dan menyentuh kepekaannya. Satu kenyataan adalah masyarakat membuat kelompok atau poros yang menunjukkan identitas grup, tetapi malah tidak menghargai yang lain atau bahkan melemahkannya. Satu lagi, masyarakat umum lebih suka menyekolahkan putera-puterinya ke lembaga yang menyediakan beasiswa atau bahkan gratis, sementara ada lembaga terdekat, padahal kunci dari ilmu adalah penderitaan dan kepayahan serta barokah ilmu terletak pada kepayahan dan darurat dalam menjalani. Mereka lebih mementingkan orang yang datang memberikan manfaat sesaat, daripada manfaat yang diberikan orang sekitarnya secara terus menerus atau dalam waktu yang lama.
Di sisi lain orang kebanyakan selalu lambat untuk sebuah urusan penting, seperti beribadah atau belajar di sekolah. Padahal kemenangan hidup ini diperoleh dari kepedulian yang tinggi pada urusan ibadah dan belajar. Di lain pihak, terkadang mereka lambat dalam merespon keperluan yang harus ditanggapi atau bahkan tidak sama sekali. Sepertinya media sosial bukan untuk menciptakan kemudahan, tetapi malah memperburuk keadaan. Seyogyanya tingginya pendidikan semakin menambah kepedulian, tetapi malah sebaliknya menciptakan jarak dan jurang lebar yang semakin dalam.
Kenyataan lain dapat kita saksikan, lingkungan alam sekitar sebagai rahmat Tuhan, seharusnya dirawat dan dikelola dengan benar, malah ditelantarkan bahkan dieksploitasi besar-besaran hanya untuk kepentingan keuntungan demi menambah kesejahteraan tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan. Penambangan liar, penebangan hutan, pembuangan sampah sembarangan menjadi pemandangan yang mengerikan. Gaya hidup mewah dengan mengkonsumsi dan mengoleksi barang-barang wah, di sisi lain kemudian dirayakan dan diumbar besar-besaran. Sementara apresiasi hasil karya atau mengkaji sebuah peristiwa seakan tak penting dan membuang-buang waktu saja. Alih-alih mau berkarya, membaca fenomena saja seperti beban yang memberatkan.
Itulah yang disebut Al-Qur’an, sekelompok orang yang tidak memaksimalkan potensi akalnya dan tidak mensyukuri nikmat-Nya. Sehingga pelakunya mendapat ancaman berat. Seperti yang terungkap dalam ayat berikut:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: ‘Seandainya dulu kami di dunia mau mendengarkan dan mau menggunakan akal kami untuk memahami petunjuk Allah, maka mestinya sekarang kami tidak termasuk kedalam penghuni neraka yang menyala-nyala.’” (QS. Al-Mulk: 10)
Ada juga ungkapan Arab yang mengatakan:
من لم يكن عقله أغلب خصال الخير عليه، كان حتفه في أغلب خصال الشر عليه
“Barangsiapa yang tidak menjadikan akalnya sebagai sifat kebaikan yang dominan pada dirinya, maka orang seperti ini kecelakaannya adalah pada sifat keburukan yang dominan pada dirinya.”
Maka kehadiran pejuang peradaban menjadi keniscayaan untuk terus berkhidmah mengorban waktu, biaya dan tenaganya demi kepentingan orang lain.
Rasulullah mengecam umat Islam yang tidak peduli nasib saudara seiman.
من لا يهتم بأمر المسلمين فليس منهم
“Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum Muslimin, Maka Dia bukan golonganku.” (Al-Hadits).
Dalam sebuah hadits shahih yang cukup panjang, Rasulullah Saw mengajarkan kita agar peduli terhadap sesama, membantu kesulitan orang lain, dan menuntut ilmu.
Yang dimaksud peduli sesama yaitu peduli kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, baik bantuan materi maupun non-materi (nasihat, ilmu, keterampilan).
Diriwayatkan oleh Muslim, juga oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dll. dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)
“Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat.
Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.
Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.
Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan baginya jalan ke surga.
Tidaklah sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah (masjid/majelis taklim) dalam rangka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi para malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk yang ada di sisiNya.
Siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
Intinya orang yang berperadaban adalah orang-orang yang beradab sesuai tuntunan Islam, peka dan peduli pada lingkungan, menggunakan ilmu sebagai landasan dan pedoman, menjadi relawan untuk kepentingan orang lain, mengorbankan kepentingan dirinya demi kemaslahatan umum, selalu menggunakan kesempatan waktu untuk menyemai benih di ladang-ladang kehidupan, mengutamakan ketenangan dan perdamaian. Tentu orang-orang seperti ini tidak banyak, atau bahkan keberadaannya dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan.
13 Mei 2023