Budaya Patriarki dan Inferioritas Perempuan dalam Realitas Sosial

Gender merupakan konstruksi masyarakat yang membedakan peran, nilai, dan tingkah laku laki-laki dengan perempuan yang cenderung tidak adil. Sikap membeda-bedakan tersebut bukan terbentuk secara alami, masyarakat sendiri yang membuatnya demikian. Jadi bukan hal yang kodrati dimiliki oleh suatu jenis kelamin.

Berbeda dengan seks, gender bukan suatu yang melekat pada diri seorang. Dalam artian, seks tak bisa dirubah, seperti perempuan menyusui dan laki-laki tidak bisa demikian. Perempuan melahirkan sementara laki-laki tidak bisa. Hal tersebut memang sudah kodrati dari Tuhan dan tidak mungkin bisa dirubah.

Sementara gender karena memang hasil buatan manusia itu sendiri, maka bisa dirubah. Peran, nilai perempuan dan laki-laki masih bisa dipertukarkan. Hanya saja masyarakat yang membuat hal tersebut menganggap bahwa gender merupakan hak paten dan sesuatu yang tidak boleh dirubah, dengan dalih bahwa itu adalah budaya, kultur atau adat istiadat masyarakat yang sudah mengakar dan dipraktekkan secara turun-temurun.

Implikasi yang bisa kita temukan dalam dunia pengenderan adalah mendarah dagingnya budaya patriarki. Bisa dilihat antara perempuan dan laki-laki sering terjadi ketimpangan peran dalam sosial. Lelaki menjadi prioritas dan perempuan inferioritas. Ini hampir terjadi dalam semua aspek kehidupan masyarakat yang jika kita amati ternyata banyak orang yang tidak menyadari. Termasuk kaum perempuan yang acap kali menjadi korban ketidakadilan.

Ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat kita dapat dilihat dari perlakuan sosial terhadap perempuan yang mayoritas pelakunya memang dari lelaki itu sendiri. Namun yang lebih ironis, perempuan sendiri juga melakukan demikian pada sesama perempuannya. Mereka menstereotip negatif bahwa perempuan selalu salah, seperti ketika perempuan berdandan cantik saat ingin pergi ke luar rumah, dan setelah itu banyak lelaki yang tergoda melihat kecantikan perempuan hingga akhirnya si perempuan menerima pelecehan seksual baik pelecahan dalam bentuk verbal atau dalam bentuk tindakan bahkan kadang sampai diperkosa oleh lelaki. Herannya, yang pertama kali disalahkan adalah perempuan dengan alasan tidak mungkin lelaki tergoda jika bukan perempuannya yang memulai terlebih dahulu.

Subordinasi kaum perempuan

Perempuan juga sering mengalami subordinasi. Di mata masyarakat perempuan posisinya lebih rendah dari pada lelaki, sehingga kaum yang dianggap remah ini dinomerduakan oleh masyarakat, seperti halnya dalam pendidikan. Lelaki didukung penuh oleh keluarganya untuk bisa menempuh studi setinggi-tingginya karena ketika sudah dewasa ia menjadi barometer keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya. Jika anak lelakinya sukses, maka masyarakat beranggapan bahwa orang tuanya sudah mampu membiayai dan mencetak anaknya menjadi orang yang sukses. Selain itu lelaki kalau sudah berkeluarga akan menjadi pencari nafkah, otomatis pendidikan dan karirnya harus lebih mapan.

Anggapan tentang laki-laki dan perempuan yang demikian itu bisa kita lihat dalam sebuah keluarga yang ekonominya pas-pasan dan mempunyai anak tiga saudara. Anak pertama adalah laki-laki, anak kedua perempuan, dan yang bungsu laki-laki. Kedua orang tuanya pasti akan lebih memprioritaskan anak lelakinya dari pada anak perempuan. Dalam pendidikannya yang lebih diwajibkan dan diusahakan untuk bisa berpendidikan tinggi adalah anak laki-lakinya. Sementara si perempuan menjadi inferior, pendidikannya kadang harus dikorbankan demi saudara laki-lakinya. Karena bagi orang tuanya perempuan tidak harus selalu berpendidikan tinggi, mereka beranggapan bahwa ujung-ujunya dia akan menjadi ibu rumah tangga saja. Sementara kalau laki-laki ia akan menjadi tulang punggung keluarga dan akan melindungi keluarga besarnya jika di kemudian hari ayahnya sudah tiada.

Selain itu, Kadang orang tua sering tergesa-gesa untuk menikahkan puterinya dengan alibi bahwa mereka khawatir anaknya tersebut akan menjadi perawan tua. Dan dalam himpitan ekonomi alasan tersebut adalah agar tanggungan biaya hidup puterinya bisa segera bebas dari orang tua, kalau anak perempuan sudah menikah otomatis suaminya yang akan menanggung biaya hidupnya. Jadi orang tua akan lebih fokus memikirkan dan mempersiapkan anak laki-lakinya agar nanti bisa menjadi orang sukses.

Perempuan Sebagai Objek Violence (Kekerasan).

Di media informasi seperti media sosial Facebook, Instagram, telegram, media cetak berbentuk koran, atau media elektronik seperti radio dan televisi selalu marak diberitakan kejadian berupa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Objeknya adalah perempuan atau istri yang pelakunya adalah laki-laki atau si suami. Alasannya adalah karena istrinya berbuat salah yang kadang hanya sepele, ia langsung membalasnya dengan melakukan kekerasan seperti tamparan, pukulan, ataupun kekerasan dalam bentuk ucapan. Keadaan yang seperti ini sangat menyiksa terhadap perempuan, bahkan tak jarang sampai berujung kematian. Trauma berat akan dialami oleh perempuan, menyiksa batin dan menguji mentalnya.

Dari saking tegarnya sosok perempuan kadang tidak menghiraukan perilaku suaminya yang melakukan hal yang sebenarnya tidak harus dilakukan. Mereka sabar menghadapi kejadian tersebut karena tak ingin keluarganya hancur.

Doble Burden (Beban Ganda) Perempuan

Menjadi isteri mempunyai banyak tugas untuk mengurusi rumah tangganya. Budaya masyarakat seakan sudah turut mengatur tugas suami dan isteri dalam rumah tangga yang cenderung tidak adil. Ketidakadilan tersebut sering kali dialami isteri hampir dalam segala hal yang berhubungan dengan keluarganya. Kalau dihitung, dalam sehari semalam saja isteri sudah dibebani dengan banyak tugas rumah yang harus dikerjakan. Realitas sosial seakan memberikan pernyataan bahwa ini adalah tugas seorang isteri semata.

Dimulai dari dini hari, isteri harus memasak di dapur, mencuci perabotan kotor, menyiapkan hidangan keluarga yang akan jadi sarapan pagi. Sementara suaminya tidak melakukan tugas tersebut karena sudah mengakar di pikirannya dan budaya masyarakat menegaskan bahwa itu adalah tugas isteri.

Tidak sampai di sana, tugas pagi perempuan harus mengurusi keperluan anaknya, menyapu, melayani anak dan suami untuk sarapan. Di samping itu ia harus mencuci pakaian dan membereskan rumah. Selain itu, sosok isteri harus mengantar anaknya ke sekolah untuk mengawasinya. Sementara suami hanya bertugas mencari nafkah atau bahkan ada lelaki yang pengangguran. Begitu banyaknya tugas perempuan dalam keluarga sehingga kalau diakomulasikan jumlahnya tidak seimbang dengan peran yang harus dijalankan oleh laki-laki .

Saran dan Masukan

Problematika yang terjadi di masyarakat tersebut harus kita pikirkan dan mencari solusinya agar generasi selanjutnya tidak melaksanakan budaya yang sangat merugikan bagi kaum perempuan itu. Harus ada langkah-langkah ke depan supaya tak ada lagi kaum yang merasa mengalami ketidakadilan.

Cara pertama yang mungkin harus diambil adalah dengan mengajak masyarakat agar mengajak putera-puterinya untuk bisa berpendidikan, minimal harus menempuh studi di strata satu agar pikiran mereka bisa terbuka dan tidak primitif lagi, nanti diharapakan bagi mereka yang berpendidikan tinggi untuk bisa memberantas ketidakadilan tersebut.

Langkah kedua ialah mengedukasi masyarakat bahwa sejatinya perempuan dan laki-laki itu sama. Allah tidak membeda-bedakan makhluk karena jenis kelaminnya. Yang membedakan hambaNya adalah tingkat ketaqwaannya. Dalam Alquran sudah dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (Qs. Al Hujurat: 13).

Selain sudah termaktub dalam Alquran, konsep keadilan juga sudah ternoktah di Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila poin 2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan poin 5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari adanya ideologi tersebut, maka seyogyanya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan harus tercermin dalam setiap lini kehidupan. Tidak boleh ada orang yang terdeskriminasi seperti yang terjadi kepada kaum perempuan.

Ketiga, menanamkan dalam mindside masyarakat bahwa peran laki-laki dan perempuan itu sama-sama penting dan saling melengkapi dan saling membantu. Selain dari itu, pendidikan sangat penting juga bagi semua jenis kelamin. Laki-laki harus berpendidikan tinggi karena nanti akan menjadi kepala keluarga, ia akan membimbing keluarganya dan menjadi imam dalam rumah tangganya sebagaimana Islam menjelaskan. Sementara perempuan harus berpendidikan tinggi pula, karena nanti saat berkeluarga, dia akan membentuk generasi yang hebat dengan cara mengajari anak-anaknya kelak. Dia adalah sekolah atau madrasah bagi putera-puterinya. Jika seorang ibu rumah tangga bodoh, maka siapa yang akan mngajari anak-anaknya, karena kurang efektif bila hanya mengandalkan suami yang setiap harinya sibuk mencari nafkah dan kadang tidak sempat untuk menemani anaknya belajar.

Dalam rumah tangga, antara suami dan isteri harus saling membantu agar tidak terjadi yang namanya beban ganda. Dalam keluarga harus bagi tugas secara seimbang, tidak berat sebelah. Semisal, tugas rumah dikerjakan secara bersama, laki-laki menyapu dan perempuan memasak di dapur, perempuan mencuci perabotan yang kotor sementara suami mencuci pakaian kotor, isteri menyiapkan hidangan dan suami menyiapkan anak-anaknya untuk berangkat sekolah, isteri mengantar anaknya ke sekolah, maka suaminya mencari nafkah, dan lain-lain. Jika ini teraktualisasi dengan baik, maka keharmonisan rumah tangga akan terjaga karena sudah adil.

Cara keempat, semua elemen masyarakat harus bersatu untuk menyuarakan keadilan kaum laki-laki dan perempuan, serta yang paling krusial adalah mengaktualisasikan keadilan gender dalam setiap kehidupan, laki-laki tidak dibedakan dengan perempuan. Selain itu, jika melihat ketimpangan gender di masyarakat, nanti harus menasehati dan mengingatkan agar perempuan tidak lagi terdeskriminasi.

Tulisan di atas masih banyak kekurangan, sehingga perlu adanya masukan dan saran agar bisa dievaluasi atau pun ada argumentasi yang berbeda dari yang penulis tulis.

Penulis : Ramadhani mahasiswa semester VI prodi PMI STIDAR

Bagikan ke :