Nase’ Ceplek Sambel Rap-orap Makanan Tradisional Mandala Era 70-an 

Penulis: Ramadhani Mahasiswa Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) STIDAR Ganding Sumenep.

Jika membahas zaman Orde Baru atau era 70-an, maka akan banyak ditemukan berbagai tradisi, adat istiadat dan makanan atau jajanan lokal yang tidak bisa dijumpai oleh anak muda zaman 2000-an ini, sebuah zaman dimana semuanya serba mudah dan instan, era dimana digital bisa mengakses berbagai hal.

Tak luput juga di Kampung Mandala Desa Gadu Barat, di zaman generasi yang katanya adalah Gen Z ini budaya dan kekhasan kampung Mandala sudah jarang dijumpai bahkan ironisnya sudah minim atau tidak dilestarikan. Mungkin gen Z beranggapan bahwa kearifan lokal tersebut tidak relevan dengan zaman sekarang yang apa-apa serba mudah.

Salah satu makanan kearifan lokal khas Mandala zaman dulu adalah Nase’ Ceplek Sambel Rap-orap. Nase’ Ceplek adalah nasi yang terbuat dari singkong yang diparut lalu direbus atau ada yang menyebutnya dengan Nase’ Pasa (Nasi Parut), karena singkonya diparut sebelum dikukus.

Setelah matang, nase’ Pasa tersebut dihidangkan di geddeng (tempat makanan dihidangkan, bentuknya bundar besar, terbuat dari kulit bambu yang dianyam). Nase’ Pasa dibagi rata dalam geddeng sesuai jumlah keluarga menjadi banyak tumpukan, karena zaman dahulu para orang tua mempunyai banyak anak, jadi semua anak tersebut makan di geddeng yang berisi nase’ ceplek bersama lauknya yang dikenal dengan Rap-orap. Tampak terlihat nilai nilai kebersamaan yang sangat kental, beda sekali dengan zaman sekarang yang serba disibukkan dengan dunia milenial.

Lauk rap-orap tersebut terbuat dari kelapa yang dibakar terus diparut dan diberi garam serta dedaunan tidak memabukkan yang dikukus. Ketika sudah matang, lalu dicampur dengan parut kelapa. Ada juga sebagian orang yang hidup pada zaman itu lauk pauknya adalah ikan pindang dan cakalan.

Menurut informasi yang dikumpulkan oleh penulis, nasi Ceplek atau nasi singkong itu baru bisa dinikmati pada waktu makan siang , karena di pagi harinya mereka masih mencari singkong ke sawah dan bahan lauk pauk lainnya. Dan katanya juga proses pembuatan makanan yang dikenal dengan sebutan nase’ Pasa tersebut cukup lama. Sedangkan di waktu pagi hari, pengganjal perut atau sarapannya adalah umbi-umbian yang direbus seperti Obi dan lain-lain.

Diketahui saat penulis wawancarai salah satu orang yang hidup era 70-an tersebut, mereka untuk bisa menikmati nasi putih hanya waktu hari raya karena pada masa itu ekonomi masyarakat memang sangat rendah dan hampir tidak ditemukan orang yang menanam padi sehingga untuk sesuap nasi putih hanya bisa dirasakan satu tahun sekali. Dulu tidak terlalu banyak aneka ragam makanan seperti sekarang.

Maka tidak heran bila orang terdahulu tubuhnya sehat, karena memang dari segi makanan yang dikonsumsi adalah umbi umbian dan sayuran, tidak ada makanan instan atau makanan yang banyak lemak, sehingga kesehatan orang dulu lebih terjamin.

Tulisan ini dibuat dari hasil wawancara dengan sebagian masyarakat Mandala yang dijadikan informan. Barangkali tulisan ini bisa dikoreksi, ditambah dan diperbaiki demi mendapatkan informasi yang lebih sempurna dan valid.

Bagikan ke :

Leave a Comment