Kerapuhan Spiritual Melahirkan Musibah Intelektual
Ungkapan yang sangat umum “bicara yang benar diawali dari berpikir yang benar.” Bicara tentu memiliki porsinya tersendiri dalam sebuah proses komunikasi. Ada orang yang pandai bicara, tapi minim dalam kerja dan ternyata “kepandaian dalam berbicara terkadang membawa celaka” sebagaimana yang disenandungkan raja dangdut Rhoma Irama. Berbicara akan memiliki maknanya apabila isi pembicaraan berkualitas, karena tidak sedikit orang yang pandai bicara, tapi isinya zonk alias zero.
Dalam konteks peradaban modern, tentu rangkaian kata-kata sangat penting, tetapi juga harus diikuti dengan mutu isi pembicaraan bahkan tindakan yang relevan dengan ruh pembicaraan. Hasil karya, baik berbentuk fisik maupun tidak adalah berawal dari sebuah ide, gagasan dan rangkaian kata-kata yang secara konseptual terdapat dalam pikiran perancangnya yang kemudian diaktualisasikan secara nyata sehingga dapat dirasakan oleh para penikmatnya.
Ibarat sebuah bangunan yang berawal dari bahan baku yang kemudian dirangkai dengan baik oleh desainer atau arsiteknya dan akhirnya bisa enak dipandang dan nyaman digunakan. Begitu pula dengan kata-kata yang mampu dijalin dengan baik oleh pembicara atau penulisnya, sehingga enak didengar dan dibaca. Pemunculan kata-kata yang indah, sangat ditentukan oleh bahan bacaan yang dibaca, lalu diolah kembali dalam alam pikiran sebelum dituangkan atau diucapkan. Ketika seseorang tidak mampu mengolah bahan bacaan atau ucapan tidak seperti bahan mentahnya atau melenceng jauh, itulah yang disebut penganiayaan intelektual yang tidak semestinya.
Penganiayaan intelektual dapat saja terjadi akibat kekacauan berpikir yang disebabkan kepentingan dan emosi yang berlebihan. Di samping itu penyebabnya dikarenakan masalah spiritual yang gersang. Dari sini dibutuhkan ketenangan, kejujuran dan ketulusan dalam segala hal. Apabila terdapat intelektualitas seseorang yang bagus, tetapi rangkaian katanya kurang bermakna, bisa dipastikan seperti minuman yang manis atau sedap, tapi gula dan garamnya belum larut dengan sempurna.
Dalam hal ini kita bisa membaca, bahwa perenungan yang tajam tentang alam semesta akan melahirkan kejernihan intelektual seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 164 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Perhatikan pula Firman Allah SWT Surat Ali Imran :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.'” (QS Ali Imran [3]: 190-191).
Memikirkan pergantian siang dan malam, mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan kekuasaan penciptanya bagi orang-orang yang berakal. Memikirkan terciptanya langit dan bumi, pergantian siang dan malam secara teratur dengan menghasilkan waktu-waktu tertentu bagi kehidupan manusia merupakan satu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual beriman. Mereka diharapkan dapat menjelaskan secara akademik fenomena alam itu, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan semua fenomena itu dengan sia-sia.
Allah memberikan anugerah potensi untuk melakukan analisa dan perenungan terhadap segala sesuatu yang ada di atas muka bumi ini untuk kemudian melahirkan ketajaman spiritual, kesadaran intelektual dan kesehatan mental. Dari tiga hal tersebut akan menjadikan seseorang mampu untuk berkomunikasi dan mengurai kata-kata yang baik serta memberikan ruh di dalamnya.
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim Ayat : 27)
Dari ayat di atas dapat difahami, bahwa ucapan yang kuat, sudah tentu dilandasi dengan keimanan yang kuat pula. Kekuatan dimaksud menyangkut kalimat dan substansinya, sehingga memberikan kesan mendalam bagi orang-orang yang mendengarkan. Karena orang yang beriman menggunakan kemampuan intelektualnya untuk merenungi setiap fenomena alam disertai dengan kesungguhan hati untuk selalu mengingat kebesaran-Nya.
Dengan demikian, kesejahteraan intelektual akan menumbuhkan kekuatan dalam berkata-kata. Sebaliknya, penganiayaan intelektual dapat menjerumuskan seseorang pada kerapuhan dan ketidakbermaknaan dalam proses redaksi keilmuan yang kacau dan fatal. Termasuk dalam hal ini berpengaruh pada mental dan interaksi sosialnya yang tidak terarah dan kurang bermakna.
Muhammad Sahli
Ketua Yayasan Stidar Sumenep