Oleh : Muhammad Sahli
Musim lebaran telah menjadi tradisi umat muslim melakukan silaturrahmi kepada famili, kerabat sanak saudara dan teman sejawat setelah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan suntuk. Pada momen tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk memperat tali kekerabatan atau persaudaraan. Di satu sisi karena waktunya yang tepat, di sisi lain pada waktu tersebut sedang libur dari berbagai aktivitas.
Sesuai maknanya silaturrahmi adalah menyambung kasih sayang. Artinya yang awalnya jauh menjadi dekat, yang asalnya putus tersambung kembali. Menilik pemahaman ini, berarti silaturrahmi bukan hanya saling balas atau sekedar rutinitas kekeluargaan. Lebih jauh dari itu terdapat pemahaman esensial yakni, ketika hubungan kekerabatan sudah tak baik lagi.
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW :
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus“. (Muttafaqun ‘alaihi).
Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” (Muttafaq ‘alaihi).
Jadi inti dari kedua Hadits di atas adalah bahwa silaturrahmi itu dijalin dengan orang yang sudah ada jarak, baik jarak waktu dan tempat atau disebabkan oleh pemutusan famili, sehingga ancamannya sangat keras dari Allah SWT
Mereka yang memutuskan tali silaturahmi terancam dosa dan akan mendapatkan balasannya dari Allah SWT
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Artinya: “Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia -bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat- daripada perbuatan zalim dan memutus silaturahmi.” (HR Abu Daud).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengingatkan ancaman Allah SWT yang akan memutuskan hubungan dengan hamba yang tidak mempertahankan silaturahmi
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا الرَّحْمَنُ، وَأَنَا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنَ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
Artinya: Allah SWT yang Maha Besar dan Maha Kuasa berfirman. “Aku adalah yang Maha Pengasih (Ar-Rahman). Aku membuat ikatan persaudaraan dan memberinya nama dari namaKu. Jika siapa saja mempertahankan ikatan silaturahmi, maka mempertahankan hubungan dengannya. Dan Aku akan memutus hubungan dengan siapa saja yang memutuskan silaturahmi.” (Disebut dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad).
Bahkan terdapat ancaman serius bagi orang yang memutus silaturahim, beliau bersabda:
لا يدخلُ الجنةَ قاطعُ رحمٍ
“Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).
Dan ia juga merupakan salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلُّوا بالليل والناس نيام, تدخلوا الجنة بسلام
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, sambunglah silaturahim, shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Makna silaturahim
Silaturahim (صلة الرحم) terdiri dari dua kata: shilah (صلة) dan ar rahim (الرحم). Shilah artinya menyambung. Dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha disebutkan:
وهو مصدر وصل الشيء بالشيء: ضمّه إليه وجمعه معه
“shilah adalah isim mashdar. washala asy syai’u bisy syai’i artinya: menggabungkan ini dengan itu dan mengumpulkannya bersama” (dinukil dari Shilatul Arham, 5).
Sedangkan ar rahim yang dimaksud di sini adalah rahim wanita, yang merupakan konotasi untuk menyebutkan karib-kerabat. Ar Raghib Al Asfahani mengatakan:
الرحم رحم المرأة أي بيت منبت ولدها ووعاؤه ومنه استعير الرحم للقرابة لكونهم خارجين من رحم واحدة
“ar rahim yang dimaksud adalah rahim wanita, yaitu tempat dimana janin berkembang dan terlindungi (dalam perut wanita). Dan istilah ar rahim digunakan untuk menyebutkan karib-kerabat, karena mereka berasal dari satu rahim” (dinukil dari Ruhul Ma’ani, 9/142).
Dengan demikian yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan dengan para karib-kerabat. An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
وَأَمَّا صِلَةُ الرَّحِمِ فَهِيَ الْإِحْسَانُ إِلَى الْأَقَارِبِ عَلَى حَسَبِ حَالِ الْوَاصِلِ وَالْمَوْصُولِ فَتَارَةً تَكُونُ بِالْمَالِ وَتَارَةً بِالْخِدْمَةِ وَتَارَةً بِالزِّيَارَةِ وَالسَّلَامِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“adapun silaturahim, ia adalah berbuat baik kepada karib-kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi salam, dan cara lainnya” (Syarh Shahih Muslim, 2/201).
Ibnu Atsir menjelaskan:
تكرر في الحديث ذكر صلة الرحم: وهي كناية عن الإحسان إلى الأقربين من ذوي النسب، والأصهار، والتعطف عليهم، والرفق بهم، والرعاية لأحوالهم، وكذلك إن بَعُدُوا أو أساءوا, وقطعُ الرحم ضِدُّ ذلك كله
“Banyak hadits yang menyebutkan tentang silaturahim. Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib-kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua” (An Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/191-192, dinukil dari Shilatul Arham, 5).
Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam dalil-dalil mengenai perintah serta keutamaan silaturahim.
Hanya saja menurut hemat penulis, dalam konteks kehidupan yang lebih luas, silaturrahmi tidak saja difahami sekedar menyambung ikatan dengan kerabat saja, tetapi juga ikatan kemanusian yang lebih luas. Bukankah, mereka yang sudah tidak diketahui lagi hubungan kekerabatannya juga merupakan dari satu hulu rahim Siti Hawa. Walaupun dari beberapa dalil, yang perlu diutamakan dengan kerabat dekat dan jauh serta teman juga tetangga.
Terkait hal di atas, dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyambung tali silaturahmi, dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (ibu-bapa), karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).
Allah juga berfirman :
ذٰلِكَ الَّذِيْ يُبَشِّرُ اللّٰهُ عِبَادَهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِۗ قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ وَمَنْ يَّقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهٗ فِيْهَا حُسْنًا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ
Artinya: “Itulah (karunia) yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. ’Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS Asy-Syura: 23).
Tetapi dalam ayat lain juga disebutkan :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat: 10).
Perintah untuk menjalin silaturahmi dengan sesama umat Muslim sendiri tertulis dalam Al-Quran Surat Ar Ra’d ayat ke-21.
وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِ ۗ
Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. An Nisa Ayat 1)”
Selanjutnya dalam Surat Al-Hujurat, ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari beberapa ayat di atas dapat kita garisbawahi bahwa silaturrahmi berlaku untuk semua kondisi dan lintas sektoral, baik menyangkut lintas agama, politik, suku, kebangsaan atas nama kemanusiaan. Sebab silaturrahmi telah menggunakan salahsatu nama Allah yakni “Arrahim” yang berarti penyayang dan tidak sepatutnya kita memilih dan memilah serta tidak mengabaikannya atas nama keegoan dan kesombongan.
Hal ini telah dicontohkan dan ditunjukkan Nabi SAW dalam praktek kehidupan sosial bersama orang-orang yang berbeda secara substansial. Rasulullah melakukan komunikasi dan menjalin hubungan baik dengan siapapun yang bisa diajak bekerja sama dan tidak memusuhinya, selama mereka tidak mengusiknya.
Maka perspektif ini yang kemudian dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya, mulai sajabat, tabi’in hingga ulama masa kini khususnya di negeri tercinta Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, agama dan golongan. Pada titik ini sesungguhnya yang menyebabkan pertentangan dan sangat mungkin atau terbuka lebar timbulnya jarak serta perselisihan yang mengakibatkan keterputusan.
Penulis memahami bahwa silaturrahmi bisa dalam bentuk mendoakan atau rasa simpati dan empati dalam praktek yang sebenarnya. Karena fitrah kebhinnekaan atau keberagaman adalah fakta yang tak bisa dibantah, sekaligus anugerah hidup yang indah sebagai sunnatullah yang berlaku universal. Mengharapkan kesamaan adalah sesuatu yang mustahil.
Sudah sepatutnya para tokoh memberikan contoh yang baik dalam praktek silaturrahmi, tidak hanya membatasi diri pada kelompok dan golongannya saja. Sebab jika jurang perbedaan yang diutamakan, maka selamanya tidak akan pernah selesai. Sementara Islam sangat mendambakan persatuan dan kerukunan agar kehidupan ini tenteram dan damai.
Untuk itulah bangunan yang retak perlu diperbaiki lagi, pertalian yang putus harus disambung lagi, dan jarak yang terpaut jauh mesti direkatkan kembali melalui silaturrahmi yang berkesinambungan tanpa mengenal batas waktu agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya sekedar simbol saja. Umat muslim dimanapun harus menjadi contoh dalam praktek humanis yang dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang kaffah. Selamat merayakan Idul Fitri 1445, mohon maaf lahir dan batin, semoga lebaran betul-betul menjadi pelebur dosa dan lebih bermakna dengan meningkatkan silaturrahmi untuk menambah rasa cinta di antara sesama. Amin.
3 Syawal 1445 H / 12 April 2024