Altruisme atau Egoisme Berkedok Kebaikan? Membongkar Motivasi di Balik Tindakan Kita
Seperti bunglon yang selalu mengubah warna, people pleaser berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, apakah kemampuan ini selalu menguntungkan?
Manusia diciptakan ke dunia berperan sebagai seorang hamba untuk beribadah sekaligus khalifah untuk mengelola bumi dengan baik. Oleh karena itu, manusia bertugas untuk menjaga hubungan yang baik kepada Allah SWT dan juga sesama manusia.
Keduanya merupakan konsep penting dalam islam, untuk menjadi hamba Allah yang terbaik, sesuai dengan versi-Nya. Akan tetapi semua itu bisa dicapai jika disertai dengan niat kuat untuk memperoleh ridho dan kasih sayang Allah.
Menurut Merriam-Webster, people pleaser adalah istilah untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kebutuhan emosional untuk menyenangkan orang lain, seringkali dengan mengorbankan kebutuhan atau keinginan mereka sendiri.
Ya, people pleaser adalah sebuah istilah yang mulai lebih sering digunakan dalam konteks psikologi moderen, untuk menggambarkan seseorang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain, sering kali mengorbankan kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Mereka sangat peduli dengan persetujuan orang lain dan takut akan penolakan. Mungkin hal ini terdengar sepele, namun jika perilaku seperti ini terus menerus berlangsung, maka bisa berdampak serius pada kesejahteraan, mulai dari stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
Tidak ada yang salah dalam melakukan perbuatan baik, seperti menolong orang lain. Ketika, tujuannya bukan hanya semata karena ingin menyenangkan orang lain, mendapat validasi orang lain, khawatir timbul rasa kecewa, pamrih, dan merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain.
Islam mengajarkan untuk saling tolong menolong kepada sesama muslim dalam kebaikan. Banyak tokoh Islam terdahulu yang telah memberikan dedikasi luar biasa. Seperti halnya pada tahun pertama hijriah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang rela menggantikan posisi Rasulullah di tempat tidurnya, ketika kaum Quraisy merencanakan pembunuhan dan mengepung rumah Rasulullah, sehingga Sayyidina Ali terancam terbunuh.
Kita juga tidak lupa dengan kisah persaudaraan antara Kaum Muhajirin dan Anshor yang sangat inspiratif. Kaum Anshar dikenal dengan sikap itsar yang luar biasa. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat Muhajirin hijrah ke Madinah, para Anshar dengan lapang dada menerima dan berbagi harta serta rumah mereka. Mereka mengutamakan kebutuhan para Muhajirin di atas kebutuhan keluarga sendiri. Dalam surah Al Hasyr ayat 9 Allah berfirman “Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak.” Kisah ini menunjukkan betapa besarnya cinta dan kepedulian mereka terhadap sesama muslim. Lalu, apakah mereka semua termasuk dalam kategori people pleaser?
Sikap demikian dalam Islam dikenal sebagai الإيثار (Al itsar). Itsar adalah istilah bahasa arab yang memiliki makna mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Konsep ini sangat dekat dengan altruisme dalam bahasa inggris, yang juga mengacu pada tindakan tulus untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan, baik berupa materi, non-materi, maupun spiritual.
Menurut Imam Al jurjani dalam kitab At ta’rifat Itsar (altruisme) adalah “Mengutamakan orang lain atas dirinya dalam memberi manfaat dan membelanya، dan ini merupakan puncak ukhuwah.” Ditegaskan dengan kata “puncak ukhuwah”. Maka dapat dipahami bahwa perilaku mulia itsar ini tidak sekonyong-konyong timbul. Itsar membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan. Melalui faktor lingkungan, tumbuhnya rasa ukhuwah, pendidikan, latihan, konsisten, sabar, tawakkal, dan introspeksi diri.
Dari kisah dan dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat itsar adalah sifat yang sangat mulia dan dianjurkan dalam islam. Jika dilandasi dengan:
1. Niat yang tulus, sifat itsar harus dilandasi niat yang tulus untuk mencari ridho Allah SWT dan membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan duniawi.
2. Empati yang tinggi, orang dengan kondisi mental yang baik cenderung lebih peka terhadap perasaan orang lain. Mereka mampu menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga lebih mudah untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan terdorong untuk membantu.
3. Optimisme, orang yang optimis cenderung memiliki pandangan positif terhadap kehidupan. Mereka melihat kesulitan sebagai tantangan yang bisa diatasi, sehingga lebih bersemangat untuk membantu orang lain.
4. Rasa percaya kepada diri dan orang lain, orang yang seperti ini cenderung lebih berani untuk mengambil tindakan dan membantu orang lain, tanpa takut akan penolakan atau kegagalan. Mereka juga lebih mungkin untuk melihat potensi kebaikan pada orang lain.
5. Sabar, sifat itsar seringkali membutuhkan kesabaran yang tinggi, terutama ketika menghadapi kesulitan atau ketidakadilan.
6. Ikhlas, melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, tanpa riya atau ingin dipuji orang lain.
Dengan landasan ini, maka seseorang akan mampu menjalin hubungan yang harmonis, tulus, bersikap dan komunikasi yang jujur, serta membangun persaudaraan yang sangat erat dengan orang lain. Sebab hanya dengan kondisi seperti inilah seseorang mampu mencapai puncak ukhuwah yaitu itsar.
Berbeda dengan people pleaser, mu’tsir di sini sejak awal sudah menyadari bahwa segala kebaikan yang dia lakukan hanyalah semata-mata mengharap balasan dan ridho dari Allah SWT.
Opini ini dibuat oleh Fathur Rosi Mahasiswa angkatan 2021 Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) STIDAR Sumenep.